Latar Belakang Berdirinya Ahlul Halli Wal ‘Aqdi dan Perihal Pelaksanaan Mudzakarah Ulama Tingkat Dunia.
A. LATAR BELAKANG BERDIRINYA AHLUL HALLI WAL ‘AQDI
Panduan berdasarkan petunjuk dalil.
Menelaah petunjuk Allah SWT di dalam Al Qur-an tentang hadirnya Islam sebagai “Aturan Allah” (Dinullah; Dinul Islam) yang Rahmatan lil ‘Alamin melalui keberadaan Muhammad saw sebagai nabi dan rasul terakhir yang diutus oleh Allah swt serta keberadaan Al Qur-an sebagai satu-satunya Al haq yang bersumber dari-Nya sebagai penyempurna kitab-kitab terdahulu (QS. Al Baqarah, 2 : 106), tentu akan memberikan satu pemahaman yang jelas, bahwa hanya dengan menerapkan tata kehidupan umat manuisia yang ditetapkan-Nya maka perjalanan kehidupan umat manusia akan sampai pada puncak kesejahteraan dan kedamaian hidup, sebagaimana diisyaratkan Allah SWT di dalam QS. Al Anbiya’ (21) : 107 yang berbunyi :
وَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا رَحۡمَةً لِّلۡعَٰلَمِينَ
“Dan tiadalah Kami utus engkau (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
Ayat tersebut memberikan gambaran yang jelas, bahwa sebenarnya perutusan Rasulullah Muhammad saw adalah sebagai penebar kasih sayang bagi seluruh umat manusia dengan cara menyampaikan khabar gembira dari Allah dan sekaligus sebagai pemberi peringatan dari-Nya (terhadap tindak perbuatan manusia yang mengingkari-Nya), sebagaimana yang tercantum di dalam QS. AS Sabaa’, 34 : 28. Setelah Rasulullah saw tiada, maka peran ulama sebagai pemegang amanah menjadi sangat strategis dalam rangka melanjutkan misi yang diemban Rasulullah saw tersebut. Allah telah menegaskan keberadaan ulama sebagai hamba yang paling takut terhadap-Nya diantara hamba-hamba-Nya (QS. Fathir, 39 : 18), dan ditengah-tengah umat Muslim pada umumnya dikenal sebagai Warasatul Anbiyaa. Rasulullah saw sendiri telah menyatakan bahwa ulama itu adalah pemegang amanah Allah atas semua makhluk ciptaan-Nya, sebagaimana tersebut dalam haditts yang diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dari Anas bin Malik r.a. yang berbunyi :
العلماء أمناء االله على خلقه
Artinya : “Ulama adalah pemegang amanah Allah atas makhluk-Nya.”
Dengan demikian, ulama dituntut berperan aktif mengajak umat muslim supaya bersatu padu dalam bingkai persaudaraan yang hakiki guna memperoleh rahmat dari Allah SWT, sebagai keketapan yang ditunjukkan-Nya di dalam QS. Al Hujurat (49) : 10, yang berbunyi :
إنّما المؤمنون إخوة فأصلحوا بين أخويكم واتّقوا الله لعلّكم ترحمون
Artinya : “Adapun sebenarnya orang-orang mukmin itu bersaudara, sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan bertaqwalah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”
Kemudian persaudaraan Mukmin tersebut harus diikat dengan kuat sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Muhammad saw bersama para sahabat (QS. Al Fath, 48 : 29), yakni seperti persaudaraan kaum Anshar terhadapa Muhajirin (QS. Al Hasyr, 59 : 9). Kemudian beribadah kepada Allah secara ikhlas dengan penuh kecondongan untuk berjuang bersama-sama mengangkat bobot Islam kepermukaan pandangan umat manusia. Merancang dan mempersiapkan segala sesuatunya bagi kebaikan kemaslahatan umat manusia (QS. At Taubah, 9 : 128) dengan upaya dan pelaksanaan serta proses yang diprogram dengan baik dan benar sesuai, dan atau sejalan, dan atau tidak bertentangan petunjuk Allah dan Rasul-Nya guna bersama-sama mengatasi berbagai fitnah dari manusia dan kerusakan yang besar dimuka bumi (QS. Al Anfal, 8 : 73, QS. An Nahl, 16 : 112, QS. Al Israa, 17 : 16) serta membenahi kembali peradaban umat manusia di seluruh lini kehidupan (QS. Al Maidah, 5 : 66-67, QS. Al A’raf, 7 : 96).
Kesemuanya tersebut diatas dapat dilaksanakan secara baik dan benar dengan memahami titah-Nya yang tersebut di dalam QS. Al Baqarah (2) : 208, sebagai berikut :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah Asy Syaithan, (karena) sesungguhnya syaithan itu adalah musuh yang nyata bagimu.”
Lafadz “As Silmi” (As Silmu) pada ayat tersebut mengandung makna “Ittifaqul-Islam” yang berarti “Upaya membangun kesepakatan di dalam Islam” (Ittifaq; Kamus Idris Al Marbawi, halaman 299). Sebuah makna yang menunjukkan kepada bentuk persatuan yang harus dilakukan umat Muslim, dipelopori oleh para Ulama mengajak sebagian umat Muslim terhadap sebagian lainnya untuk menyatukan dan merapatkan barisan, sebagaimana yang diisyaratkan-Nya di dalam Al Qur-an Surah Al Anfal, 8 : 73 sebagai berikut :
وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُن فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ
Artinya : “Dan (ketahuilah bahwa) orang-orang kafir itu sebagian mereka memimpin terhadap sebagian yang lain, jika kamu tidak melakukannya maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan-kerusakan yang besar.
Suatu bentuk persatuan yang hakiki, yakni “Tansiq” (Tansiqul Qalbi: penyatuan hati oleh Allah subhanahu wata’ala yang diawali dengan kondisi hati yang dipersatukan Allah (QS. Al Anfal, 8 : 63). Bukanlah suatu bentuk persatuan yang semu, yakni “Aliansi“ (Alliance; persekutuan, ikatan dengan tujuan politik tertentu yang didasari penyatuan fikiran; gedachten concentratie, yang mengatas-namakan kepentingan bersama/kepentingan umum namun sesungguhnya dibalik itu sesungguhnya terdapat kepentingan selera nafsu pribadi atau golongan dan ambisi masing-masing) seperti persatuan yang diwujudkan oleh orang-orang kafir yang hati mereka dipastikan Allah dalam keadaan bercerai-berai (QS. Al Hasyr, 59 : 14).
Sedangkan lafadz “kaaffah” secara tersirat memberikan makna universal/mendunia, sebagaimana dinyatakan di dalam Al Qur’an Surat Saba’, 34 : 28 yang menyatakan bahwa perutusan Muhammad Rasulullah tidak hanya terbatas untuk orang Arab saja, melainkan menjangkau seluruh lapisan bumi ini. Sehingga dipastikan Allah bahwa yang sebenarnya yang dapat menegakkan nilai manusia dan kemanusiaan hanyalah orang-orang yang bertaqwa (dari Umat Muslim) yang akan mengantarkan kepada derajat kemuliaan yang hakiki bagi manusia dihadapan-Nya, sebagaimana yang diingatkan dalam Al Qur-an Surah Al Hujurat, 49 : 13, sebagai berikut :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya : “Dan (ketahuilah bahwa) orang-orang kafir itu sebagian mereka memimpin terhadap sebagian yang lain, jika kamu tidak melakukannya maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan-kerusakan yang besar.
Yakni, mereka yang senantiasa mentaati Allah dan Rasul-Nya dengan berpegang teguh kepada Kitabullah Al Qur-an dan As Sunnah, dan tidak akan melancangi terhadap ketetapan Allah dan Rasul-Nya tersebut. Sehingga dengan kondisi yang tersebut umat Muslim bersama para ulamanya tidak akan pernah terkecoh terhadap bentuk-bentuk palsu dari kebathilan yang diupayakan Asy Syaitahn untuk mengatas-namakan dan mencampur-adukkan kebenaran (:Al Haq; QS. Al Baqarah, 2 : 42), dan akan senantiasa dapat berjalan beriringan, bergandeng tangan merapatkan barisan dengan saling bertaushiyah terhadap kebenaran dan kesabharan. Bermudzakarah (QS At Takwir, 81 : 27-29) tentang arah dan cara melangkah dalam perjalanan dakwah Islam, dan bermusyawarah (QS Asy Syura, 42 : 38) untuk mencapai kesepakatan terhadap segala sesuatu yang menyangkut kemaslahatan umat manusia dan kemanusiaan, termasuk tentang strategi maupun taktik menghadapi kemajemukan umat (plurarisme) dengan segala permasalahannya (QS. Al A’raf, 7 : 142, QS, Al Hajj, 22 : 11, QS. Fathir, 35 : 32).
Perjalanan dakwah Islam.
Pada masa awal perjalanan dakwah Islam, sebagian besar pemahaman yang baik dan benar tentang keberadaan Ahlul Halli Wal ‘Aqdi mengambil i’tibar dari peristiwa yang dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khathab ketika menunjuk dan menetapkan beberapa orang dari sahabatnya (:sahabat Rasulullah saw) untuk menentukan langkah selanjutnya apabila dirinya meninggal dunia. Kemudian, pada waktu Umar bin Khathab telah meninggal dunia, mereka yang telah ditunjuk tersebut bermusyawarah dan bersepakat memutuskan sesuatu yang harus ditaati oleh seluruh kaum Muslimin pada masa itu. Diantara keputusan tersebut adalah penunjukkan dan pengangkatan Utsman bin Affan sebagai Khalifah pengganti Umar bin Khattab yang telah meninggal dunia. Selanjutnya, pada masa perjalanan dakwah Islam sampai dengan abad 18 M, para fuqaha dari kalangan ulama mengulasnya dan menyimpulkannya sebagai suatu istilah dalam keilmuan tentang kemasyarakan yang menjadi pembelajaran bagi kaum Muslimin. Seperti yang dilakukan Syaikh Muhammad Abduh (1849-1905 M) pada masa perjalanan dakwahnya di Mesir, beliau mengangkat istilah Ahlul Halli Wal ‘Aqdi sebagaimana yang terdapat dalam kitab “Al Ahkam As Sulthoniyah” karangan Imam Al Mawardi (975-1058 M), sebagai berikut :
أَهْلُ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ هُمُ الْأُمَرَاءُ وَالْحُكَّامُ وَالْعُلَمَاءُ وَرُؤَسَاءُ الْجُنْدِ وَسَائِرِ الرُّؤَسَاءِ وَالْزُعَمَاءُ الَّذِيْنَ يَرْجِعُ إِلَيْهِمُ النَّاسَ فِى الْحَاجَاتِ وَالْمَصَالِحِ
Artinya : “Ahlul Halli Wal Aqdi dari orang-orang muslim yaitu para pemimpin, hakim, ulama, jendral, dan pemimpin-pemimpin lainnya, dan para penanggung-jawab yang mereka sebagai rujukan manusia dalam berbagai masalah dan perdamaian.”
Pengertian Ahlul Halli Wal ‘Aqdi dari segi bahasa merupakan himpunan orang muslim yang dipandang ahli dalam hal mengurai dan mengikat dalil. Secara spesifik berdasarkan Al Qur-an dan As Sunnah dapat ditentukan mereka adalah hamba-hamba Allah yang berkategori “U-lu Baqiyyah” dari para “Ulama” (QS. Fathir, 35 : 28), “Ahlu Dzikir” (QS. An Nahl, 16 : 43), dan “Al ‘Alimun” (QS. Al Ankabut, 29 : 43) sesuai dengan sakilah dari berbagai latar belakang kemampuan dan disiplin ilmu yang diperlukan bagi mengentaskan permasalahan kehidupan umat manusia pada tatanan yang telah ditetapkan Allah atas manusia. Mereka bersifat sebagaimana Rasulullah saw (QS. At Taubah, 9 : 128), yakni peka terhadap penderitaan dan jeritan nurani umat manusia yang terjajah dan tertindas oleh sistem hidup yang serba tidak menentu (Quovatis), serta yang memahami juga tentang bagaimana cara yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya dalam upaya dan pelaksanaan serta proses mengangkat bobot Islam kepermukaan pandangan umat manusia menuju janji-Nya. Sehingga, tidak akan pernah bersifat premature (QS. Al Hujurat, 49 : 1) dan merusak kemurnian Islam (QS. Az Zumar, 39 : 3) yang justru akan memperlebar jalan Asy Syaithan (QS. Al Baqarah, 2 : 208) untuk merusak cita dan citra Islam sebagai Dinullah dan umat Muslim itu sendiri, ditengah-tengah peradaban umat manusia.
Dari panduan bedasarkan petunjuk dalil-dali tersebut diatas, “Mudzakarah Ulama Tingkat Dunia Tahun 2016” yang telah menetapkan keabsahan “Ahlul Halli Wal ‘Aqdi” secara mendunia menitikberatkan tujuannya untuk mewujudkan kesepakatan dan kesatuan hati para ulama dalam kategori Ulu Baqiyyah (Qs. Hud, 11 : 116) untuk mencegah dan mengantisipasi terjadinya fitnah dimuka bumi dan berbagai kerusakan besar (Qs. Al Anfaal, 8 : 73), yakni bencana kolektif baik itu bencana alam maupun bencana kemanusiaan (Qs. Ar Ruum, 30 : 41). Hal tersebut merupakan upaya mengentaskan dakwah Islam yang Rahmatan Lil ‘Alamin sebagaimana maksud perutusan Nabi Muhammad saw hingga pada masanya kelak akan terwujud rencana dan janji Allah bahwa aturan-Nya (Dinnullah) tegak atas semua aturan manusia dengan suatu format sistem yang disebut sebagai “Khilafah fil ‘ardi”, Khilafah yang disebutkan Rasulullah saw dengan “Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah” yang akan menjamin keamanan, kedamaian dan kesejahteraan hidup seluruh umat manusia (Qs. An Nuur, 24 : 55). Keseluruhannya tersebut adalah suatu kebenaran (Al Haq) dari Allah sebagai “Rabbunas-Rabbul ‘Alamin” yang telah ditetapkan-Nya didalam Al Qur-an dan dipandukan oleh Rasulullah Muhammad saw, harus diyakini sepenuhnya oleh umat Muslim meskipun baru akan dibuktikan/diwujudkan-Nya pada suatu masa yang ditentukan atas kehendak dan kuasa-Nya (Qs. Shaad, 38 : 88).
Dengan demikian, keabsahan Ahlul Halli Wal ‘Aqdi melalui Piagam Kesepakatan Mudzakarah Ulama Tingkat Dunia 2016 yang telah disepakati dan oleh para ulama yang bermudzakarah merupakan sebuah tahapan awal “Siasah” (Siyasah Syar’iyyah) dalam proses dakwah menuju tegaknya Aturan Allah (Dinullah; Dinul Islam yang Rahmatan lil ‘alamin) atas seluruh umat manusia sampai kepada puncaknya, yaitu pada suatu masa yang ditentukan atas kehendak dan kuasa-Nya. Allah SWT telah berjanji bahwa kelak umat Islam akan kembali menemukan masa kejayaan dan puncak kecemerlangannya, sebagaimana masa keemasan yang telah dirintis dan diraih Rasulullah saw beserta Khulafa’ur Rasyidin, generasi di belakangnya hingga beberapa abad lamanya. Janji tersebut tersirat di dalam QS. At Taubah (9) : 33 yang berbunyi :
هو الذي أرسل رسوله بالهدى ودين الحقّ ليظهره على الدّينِ كلّهِ ولو كره المشركون
Artinya : “Dialah (Allah) yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al Qur-an) serta agama yang benar, untuk dimenangkan-Nya atas segala aturan yang ada, walaupun orang-orang Musyrikin tidak menyukai.”
Serta penjelasan Rasulullah Muhammad saw di dalam haditsnya yang menyatakan bahwa kelak kekuasaan ummat Islam akan meliputi seluruh lapisan permukaan bumi ini, mulai dari belahan timur hingga belahan barat, sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim, Abu Daud dan At Turmudzi melalui jalur Shahabat Ats Tsauban, yang berbunyi :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ زَوَى لِي الْأَرْضَ فَرَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا
وَإِنَّ مُلْكَ أُمَّتِي سَيَبْلُغُ مَا زُوِيَ لِي مِنْهَا
Artinya : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah telah mendekatkan bumi ini untukku, sehingga aku dapat melihat antara timur dan baratnya. Sungguh, kekuasaan umatku akan sampai pada jarak yang diperlihatkan kepadaku tersebut.” (HR. Muslim)
Oleh karena itu, setelah terwujudnya keabsahan Ahlul Halli Wal ‘Aqdi tersebut, ditetapkanlah pengertian umum mengenai Ahlul Halli Wal ‘Aqdi yang dimaksud, yakni pengertian yang diangkat dari kaidah Ushul oleh para ulama terdahulu yang disampaikan Ketua Dewan Perancang dan Panitia Persiapan Mudzakarah Ulama, Al Ustadz Muhammad Bardan Kindarto (1936-2016 M) di dalam program kaderisasi yang diikuti oleh jajaran kepanitiaan pada masa-masa persiapan Mudzakarah Ulama Tingkat Dunia 2016, sebagai berikut :
(1)
الإِتِّفَاقُ جُمْلَةِ أَهْلِ الْحَلِّ وَ اْلعَقْدِ مِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ فِى عَصْرٍ مِنَ الْأَعْصَارِ عَلَى حُكْمِ وَاقِعَةٍ مِنَ اْلوَقَائِعِ
Artinya : “Kesepakatan ahli mengurai dan mengikat urusan daripada ummat Muhammad pada suatu masa atau daripada masa-masa atas Hukum yang terjadi daripada beberapa kejadian.
(2)
الإِتِّفَاقُ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ خَاصَّةً عَلَى أَمْرٍ مِنَ الأُمُورِ الدِّيْنِيَّةِ
Artinya : “Kesepakatan ummat Muhammad yang khas atas urusan daripada urusan-urusan Ad Din”.
Sehingga Ahlul Halli Wal Aqdi diwujudkan sebagai suatu kelembagaan/majelis mendunia dari suatu bentuk kepanitiaan yang disempurnakan dan dibakukan atas kesepakatan seluruh Ulama dan Ulama Ahli yang tergabung didalamnya, yang pada masing-masing Ulama dari keseluruhan itu “tidak ada perbedaan antara satu dengan yang lain, dalam pengertian tidak mengenal hak prerogative antara pimpinan dan anggota, kecuali masing-masing akan bertugas sesuai pembagian tugasnya menurut kaidah nidhom, dibawah ketetapan Al Qur-an dan Al Hadits, sehingga pimpinan yang ditetapkan adalah sebagai sesepuh”.
Selanjutnya, setelah sesepuh (yang dituakan) dari para ulama telah ditentukan maka seseorang diantaranya ditunjuk dan ditetapkan bertindak sebagai “Imam”. Secara nizham, keberadaannya disebut “Imam Ahlul Halli Wal ‘Aqdi” yang berperan tanpa hak prerogative, karena derajatnya sama dengan seluruh ‘ulama Ahlul Halli Wal ‘Aqdi. Para ulama yang tergabung dalam kelembagaan ini dari Al ‘Ulama, Ahli Dzikir dan Al ‘Alimun (yakni para Ulama Intelktual dan Intelektual Ulama) yang tergabung dalam kelembgaan Ahlul Halli Wal ‘Aqdi wajib menepati kaidah “Siyasah” dan bukan “Politik” dalam perjalanan dakwahnya ditengah-tengah peradaban umat manusia. Siyasah adalah satu sistem yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya yang menuju terbentuknya Darussalam, sedangkan sistem Politik berpijak dari sejarah Yunani kuna yang telah menjadi falsafah bangsa Barat menuju Darulfasikin. Sehingga, antara Siyasah dan Politik menjadi “Dua sistem yang antagonis”. Pada masanya nanti kedua sistem itu dipertemukan Allah atas kehendak dan kuasa-Nya, Ahlul Halli Wal ‘Aqdi akan mengawal kebenaran (Al Haq) menuju janji Allah sebagai “Utusan kehormatan”, sebagaimana firman Allah dalam QS Maryam, 19 : 85 :
يَوْمَ نَحْشُرُ الْمُتَّقِينَ إِلَى الرَّحْمَٰنِ وَفْدًا
Artinya : “Pada hari (ketika) Kami akan kumpulkan orang-orang yang bertakwa kepada Ar Rahman sebagai para utusan (untuk menjalankan misinya) yang terhormat.”
“Utusan Kehormatan” melaksanakan dialog terhormat dengan Kafirin (QS. Al Bayyinah, 98 : 1) dari Ahli Kitab yang berpusat di Keuskupan Vatican dan Musyrikin bangsa Barat yang tergabung di dalam Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Kemudian setelah proses مجادلة “Mujadalah“, مناظرة “Munadharah“, sebagaimana firman Allah dalam QS Al Ankabut, surat nomor 29, ayat 46, sebagai berikut :
وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ ۖ وَقُولُوا آمَنَّا بِالَّذِي أُنزِلَ إِلَيْنَا وَأُنزِلَ إِلَيْكُمْ وَإِلَٰهُنَا وَإِلَٰهُكُمْ وَاحِدٌ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
Artinya : “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang dlalim di antara mereka. Dan katakanlah, “Kami beriman kepada (Kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada kamu sekalian, dan sedangkan Ilah kami dan Ilah kamu adalah tunggal, dan kami hanya kepada-Nya berserah diri.”
Sampai ke tingkat مباهلة “Mubahalah“, sebagaimana firman Allah dalam QS Ali Imran, surat nomor 3, ayat 61 :
فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِن بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنفُسَنَا وَأَنفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَل لَّعْنَتَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ
“Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka Katakanlah (kepadanya), “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.”
Insya’ Allah, proses dialog ini akan berakhir dengan ketetapan Allah SWT di dalam QS Al Hasyr, 59 : 2, sebagai berikut :
هُوَ الَّذِي أَخْرَجَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مِن دِيَارِهِمْ لِأَوَّلِ الْحَشْرِ ۚ مَا ظَنَنتُمْ أَن يَخْرُجُوا ۖ وَظَنُّوا أَنَّهُم مَّانِعَتُهُمْ حُصُونُهُم مِّنَ اللَّهِ فَأَتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ حَيْثُ لَمْ يَحْتَسِبُوا ۖ وَقَذَفَ فِي قُلُوبِهِمُ الرُّعْبَ ۚ يُخْرِبُونَ بُيُوتَهُم بِأَيْدِيهِمْ وَأَيْدِي الْمُؤْمِنِينَ فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ
Artinya : “Dialah yang mengeluarkan orang-orang Kafir di antara Ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. Kamu tiada menyangka, bahwa mereka akan keluar dan mereka pun yakin, bahwa benteng-benteng mereka akan dapat mempertahankan mereka dari (ketetapan) Allah; maka Allah mendatangkan kepada mereka (ketetapan-Nya) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah mencampakkan ketakutan ke dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang yang beriman. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.”
Inilah fase awal kebangkitan Islam sebagai sejarah yang akan berulang dimasa yang depan yang disebut “Proses Awalil Hasyr”. Penyerahan tampuk kepemimpinan dunia dari kaum kafir kepada hamba-hamba Allah yang beriman yang dinamakan “Khilafatul Muslimin”, yang akan menyusun gambaran penetapan Khilafah/Ulil Amri/Amirul Ummah pada tiap-tiap rumpun bangsa, sampai menuju akhir masa (QS Yunus, 10 : 14) :
ثُمَّ جَعَلْنَاكُمْ خَلَائِفَ فِي الْأَرْضِ مِن بَعْدِهِمْ لِنَنظُرَ كَيْفَ تَعْمَلُونَ
Artinya : “Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat.”
Adapun proses menuju penggelaran Hukum Islam secara mutlak sesuai yang dijanjikanAllah sebagaimana yang tersebut dalam tiga ayat pada tiga surat yakni, QS. At Taubah, 9 : 33, QS. Ash Shaaf, 61 : 10, dan QS. Al Fath, 48 : 28, telah ditetapkan-Nya keberlakuannya setelah proses “satu masa” (QS Shad, 38 : 88) :
وَلَتَعْلَمُنَّ نَبَأَهُ بَعْدَ حِينٍ
Artinya : “Dan sesungguhnya kamu akan mengetahui (kebenaran) berita Al Qur–an setelah beberapa masa lagi.”
Masa yang dimaksudkan tersebut ditandai dengan kehadiran seorang ulama yang mumpuni dan piawai menjawab segala macam persoalan umat di berbagai rumpun bangsa pada saat Dewan Permusyawaratan Ahlul Halli Wal ‘Aqdi dihadapkan berbagai macam persoalan umat dari laporan riset berbagai rumpun bangsa untuk menentukan gambaran akhir tatanan kehidupan umat manusia mendunia (Gambaran Sistem Mendunia; salah satu misi Ahlul Halli Wal ‘Aqdi). Sehingga para Ulama, Ahli Dzikir, Al ‘Alim yang tergabung di lembaga Ahlul Halli Wal ‘Aqdi semuanya merujuk kepadanya, dialah Al Mahdiy dari keturunan Fatimah yang akan menjadi pangkal tegaknya “ Khilafatul Muslimin”, yaitu Khilafah ‘Ala Minhaj An Nubuwwah (HR Abu Daud No. 4284 Kitab Al Mahdi (4/107) dan Ibnu Majah No. 4152, Bab Khrujul Mahdi (2/519) dengan derajat Shahih) :
عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ قَالَ كُنَّا عِنْدَ أُمِّ سَلَمَةَ فَتَذَاكَرْنَا الْمَهْدِيّ
فَقَالَتْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْمَهْدِيُّ مِنْ وَلَدِ فَاطِمَة
Artinya : “Dari Sa’id bin Al Musayyab dia berkata, “Ketika kami berada di samping Ummu Salamah, tiba-tiba dia menyebutkan kepada kami mengenai perkara Al Mahdiy, katanya, “Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Al Mahdiy berasal dari anak keturunan Fatimah.”
Dengan uraian tersebut diatas, maka pelaksanaan Mudzakarah Ulama Tingkat Dunia 2016 yang merupakan suatu langkah awal dalam proses dakwah Islam yang Rahmatan lil ‘Alamin – Kaaffatan linnas dan telah menetapkan keabsahan Ahlul Halli Wal ‘Aqdi secara mendunia , bukanlah bertujuan untuk segera menegakkan Imamah ataupun Kekhilafahan atau mengangkat seorang Khalifah. Hal ini disebabkan karena persoalan tegaknya “Khilafah” merupakan hak muthlaq dan terjadi atas ketetapan Allah, berdasarkan petunjuk-petunjuk Allah di dalam Al Qur’an yang dapat difahami dan dimengerti, antara lain :
- Surah Al Baqarah, 2 : 30
- Surah Al An’am, 6 : 165
- Surah Yunus, 10 : 14
- Surah An Nuur, 24 : 55
- Surah An Naml, 27 : 62
Dengan memperhatikan petunjuk dalil-dalil tersebut, maka dapat dipahami bahwa dalam gerakan Tajdid menuju keberlakuan Janji Allah, Khilafah adalah “target harapan” dan “bukan tujuan” yang artinya disamping hal ini merupakan ketetapan dan kepastian Janji Allah, akan tetapi tetap memerlukan upaya dan pelaksanaan serta proses yang benar berdasarkan panduan Al Qur’an dan Al Hadits Shahih (Qs. Ash Shaff, 61 : 4), serta tiada dibenarkan melakukan tindakan atau gerakan yang bersifat premature (Qs. Al Hujurat, 49 : 1). Hal-hal yang melancangi ketetapan Allah dan Rasul-Nya dalam perjalanan dakwah Islam justru akan mengantarkan masuk dalam makar besar orang-orang kafir (QS. Ibrahim, 14 : 46-47) dan jebakan kemunafikan” (QS. An Nisaa’, 4 : 143) yang sengaja dirancang oleh orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan Musyrikin (Qs. Al Bayyinah, 98 : 1) melalui kaum Humanisme Secullair/De-Humanisasi (:Hedonisme Intellectual), Paganisme, Matrialisme bahkan Matrialisme Dialegtic (Atheistic). Mereka kaum Eklektisisme yang sudah sangat terbiasa menafikan keterangan dari Kitabullah Al Qur-an dan Sunnah Rasullullah Muhammad saw, dan menjadikan aturan dari Allah bagi mereka hanya untuk bahan olokan/senda gurau dan permainan (QS. Al A’raf, 7 : 51). Paham mereka untuk mengatur manusia pada suatu tatananan kehidupan yang menjaga nilai-nilai kemanusiaan yang universal serta kepentingan umum dengan mengatas-namakan “Tuhan” (Qs. Al Baqarah, 2 : 204-206) hanyalah rekaan belaka (QS. Al An’am, 6 : 116, QS. Ar Ruum, 30 : 7-8) yang bersifat semu (QS. Yunus, 10 : 36) dan tidak akan pernah mencapai kebenaran yang hakiki dan tujuan kebaikan yang sebenarnya (QS. An Nisaa’, 4 : 51-53) karena hanyalah bersandarkan kepada hasil pemikiran-pemikiran manusia (QS. Lukman, 31 : 6) yang diorbitkan dan diagung-agungkan oleh kebanyakan manusia itu sendiri (QS. Al Jatsiyah, 45 : 23-24) serta dijaga kelestariannya (QS.Luqman, 31 : 21), seperti Socrroates, Plato, Aristoteles, Dante, Kent, Macchiavelli dan lain-lainnya yang kebanyakan adalah filosof Yunani Kuno (+ 400 SM) yang intinya hanyalah pemikiran tentang tatakehidupan manusia selain dari apa yang telah digariskan Musa a.s dari Kitabullah Taurat terhadap bani Isrrail. Notabene filosof-filosof itu bukanlah utusan Allah yang harus ditaati manusia, bahkan dengan sikap dan perbuatan mereka tersebut dapat digolongkan dalam jajaran tindakan penghianatan bani Israil yang telah terkutuk dua kali melalui lisan Nabi Daud a.s. dan Nabi Isa’ a.s. sebagaimana yang terebut dalam QS. Al Maidah, 5 : 78-81). Teori-teori kemasyarakatan yang bertentangan dengan apa yang menjadi kehendak dan ketetapan Allah dan Rasul-Nya (QS. An Nisaa’, 4 : 150-151) dan berseberangan dengan Millah Ibrahim a.s. yang justru dilanjutkan oleh Muhammad saw (QS. An Nahl, 16 : 123). Bahkan disempurnakan Allah baginya sebagai rasul terakhir untuk manusia, agar sepeninggalnya kelak orang-orang yang mengikutinya menjadi “Umat Pilihan” (QS. Al Hajj, 22 : 78).
Namun, pada masa perjalanan selanjutnya, bahkan sampai masa sekarang ini, kebanyakan manusia enggan melangkah pada jalan yang benar yang terbukti dengan sikap mengabaikan keberadaan Al Qur-an sebagaimana keadaan yang telah diingatkan Rasulullah Muhammad saw (QS. Al Furqan, 25 : 52). Keadaan umat manusia saat ini sebagian besar hanya mampu beralibi dengan logikanya demi memberikan jalan yang lantang bagi selera nafsu duniawiyah untuk berkuasa atas ‘aqal dan fikiran sehat. Dimasa awalnya dulu buah pemikiran filosof-filosof Yunanii Kuna belum sepenuhnya diterima oleh manusia, bahkan banyak ditolak oleh manusia. Namun seiring perjalanan waktu, justu teori-teori itulah yang menjadi pandangan hidup manusia dan mengadopsinya sebagai falsafah besama, bahkan berupaya kuat mengatasnamakan falsafah suatu bangsa, hanya karena dianggap lebih baik dan universal dan dapat memberikan kesempatan bagi dirinya atau siapa saja, tidak peduli kafir atau mukmin untuk dapat menikmati lezatnya kenikmatan duniawiyah meskipun sesaat (QS. Ad Dahr, 76 : 27). Dan, yang dapat memungkinkan dirinya bagi dirinya atau siapa saja, tidak peduli kafir atau mukmin, untuk menjadi tokoh dalam jajaran pembesar di suatu negeri, bahkan untuk dapat dipilih menjadi penguasa pada suatu negeri. Termasuk juga dalam hal menentukan arah dan aturan kehidupan manusia di dalamnya seperti tingkah lacut Fir’aun yang merasa derajatnya paling tinggi dan paling bijak dalam mengatur manusia (QS. An Nazi’at, 79 : 24). Teori-teori tersebut kini sudah berinovasi dan bervariasi, bahkan menjadi falsafah bangsa-bangsa di dunia yang ingin berkehidupan bebas tanpa memperdulikan norma hukum dari aturan sebenarnya (QS. Al Jatsiyah, 45 : 20) yang telah ditetapkan Allah sebagai Rabb-nya manusia dan maksud keberadaan Dinullah, Dinul Islam sebagai tatanan kehidupan manusia serta perutusan Muhammad saw sebagai rasul yang terakhir (QS. At Taubah, 9 : 33).
Semua itu telah terjadi sebagai bentuk kesombongan orang-orang golongan kafir di muka bumi dan gencarnya makar/rencana jahat mereka (QS. Faathir, 35 : 43) melalui program-program yang sengaja dibuat untuk memadamkan cahaya Allah (QS. Ash Shaaf, 61 : 8). Sebagaimana yang diingatkan Allah tentang “Sembilan Tokoh Intelektual” yang sudah pernah terjadi atas kaum Tsamud yang telah diingatkan oleh Nabi Shalih (QS. An Naml, 27 : 48). Kejahatan intelektual beralibi dengan keberadaan “Mafia dan Spionase”! Namun, sejarah tidak ada yang baru kecuali apa yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya! Semua ini hanyalah pengulangan skenario milik Allah yang berlaku atas manusia, dan yang berbeda hanyalah tokoh, tempat dan waktu. Segala sesuatunya tak luput dari taqdir dan kuasa-Nya serta berjalan sebagai sunatullah atas manusia (QS. Al Ahzab, 33 : 62) sebagai ujian keimananan terhadap manusia sebagaimana yang telah dialami oleh para nabi dan rasul serta umat-umat terdahulu sampai kepada umat Muhammad saw (QS. Al Ankabut, 29 : 2-3, QS. Al Baqarah, 2 : 214), dan sejalan dengan panduan Rasulullah tentang perjalanan umat manusia dari masa beliau sampai masa akhir yang harus diyakini, tersebut dalam hadits berderajat shahih riwayat Ahmad No. 273 Bab IV dalam Kitab Musnad , sebagai berikut :
مِنْ حَدِيْثِ حُذَيْفَةِ ، عَنِ النَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم، قَالَ : ( تَكُوْنُ فِيْكُمُ النُّبُوَّةُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا اللهُ إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلَافَةٌ عَلىَ مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ، فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا اللهُ إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكاً عَاضًّا مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكاً جَبَرِيًّا، فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلَافَةٌ عَلىَ مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ) ثُمَّ سكت
Artinya : “Dari Huzaifah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kenabian telah terwujud di antara kamu sesuai dengan kehendak Allah. Kemudian Dia akan menghilangkannya sesuai dengan kehendak-Nya. Setelah itu ada khilafah sesuai dengan kenabian tersebut, sesuai dengan kehendak-Nya pula. Kemudian Dia akan menghapusnya juga sesuai dengan kehendak-Nya. Lalu ada raja yang gigih (berpegang teguh dalam perjuangan Islam), sesuai dengan kehendak-Nya. Setelah itu ada raja diktator bertangan besi, dan semua berjalan sesuai dengan kehendak-Nya pula, lalu Dia akan menghapusnya jika menghendaki untuk menghapusnya. Kemudian ada khilafah yang sesuai dengan tuntunan Nabi. Lalu diam.”
Oleh karena itu, sangat jelas bahwa Aturan Allah, Dinullah (QS. Al Maidah, 5 : 3, QS. Ali Imran, 3 : 19, 85) Dinul Islam yang Rahmatan lil ‘alamin (QS. Al Anbiya’, 21 : 107) yang telah sampaikan oleh para rasul-Nya yang disempurnakan-Nya dengan perutusan Muhammad saw sebagai nabi dan rasul terakhir akan berjalan atas kehendak dan kuasa-Nya dengan rencana dan janji-Nya, dan bukan bertujuan untuk membangun kekuasaan manusia atas manusia (Exploitations of Man by Man) sebagaimana kesalah-pahaman yang terjadi pada kebanyakan manusia bahwa Islam disebarkan dengan “pedang” (:peperangan), dan yang menyatakan bahwa Islam disebarkan dengan “dagang”, bermaksud memperhalus sejarah namun tetap keliru. Bahkan, yang sangat fatal saat ini yakni mereka yang tanpa dasar ilmu berusaha mengaburkan kebenaran (Al Haq) dan berupaya kuat menyamakan antara Politik dan Siyasah, Kampanye dan Dakwah, Penguasa Negara dan Khilafah. Pengkaburan dari makna kebenaran yang hakiki dengan menggunakan kosa kata jurnalistik universal yang dapat menyebabkan Islamophobia dikalangan umat Muslim sehingga akhirnya memutuskan “kebijakan-kebijakan” tertentu untuk tampil sebagai kelompok “Moderat” (QS. An Nisaa, 4 : 143). Inilah sesungguhnya target yang ingin dicapai oleh orang-orang kafir, terutama dari sebagian Ahli Kitab, baik Yahudi maupun Nashrani (QS. Al Baqarah, 2 : 142). Rasa takut dan cemas yang pernah dialami para rasul terdahulu, seperti Musa a.s. yang difitnah “makar” karena ajaran Rabb-nya kepada bani Israil maka Musa a.s. dianggap ingin mengkudeta Fir’aun, dan seperti juga Rasulullah Muhammad saw. yang difitnah tentang misi dakwah yang dibawanya adalah dusta dan hanya akan menjatuh nama baik suku dan bangsanya demi kepentingan pribadi yang ingin dicapainya.
Sebuah ironi klasik yang pernah dihadapi para rasul dan umat-umat terdahulu yang juga harus dialami oleh umat Muhammad saw sampai pada saat ini, bahkan masa mendatang, sampai tiba “masa kejelasan/pembuktian” (QS. Al Bayyinah, 98 : 1) yang dengan amat-sangat teliti telah ditentukan-Nya (QS. Maryam, 19 : 84). Oleh karena itu, situasi dan keadaan seperti ini harus dihadapi umat Muslim dengan “Kesabaran”, “Saling meningkatkan kesabaran” dan “Saling merapatkan barisan” (QS.Ali Imraan, 3 : 200) dalam menghadapi fitnah-fitnah dari mereka yang ingin memadamkan cahaya Allah. Dan, harus dihadapi dengan sikap sempurna sebagai manusia yang beraqidah tauhid dan berakhlaq mulia, dengan upaya dan pelaksanaan serta proses yang jelas dan tegas terhadap nilai kebenaran dalam “bingkai toleransi aktif bukan pasif” (QS. Fushilat, 41 : 34), mengingat topik utama Al Qur-an sebagai Kitabullah terakhir bagi manusia adalah tentang “manusia dan kemanusiaan” (QS. Al Maaidah, 5 : 32). Dan, karena Allah mencintai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya dengan Shaaffan seperti bangunan yang tersusun rapi (QS. Ash Shaaf, 61 : 4) serta terpimpin dengan cara yang ditentukan dan yang akan dimenangkan-Nya bagi golongan Mukminin (QS. Al Baqarah, 2 : 249). Kam min fiatin qalilatin fi atan katsiratan bi idznillah! Fa’ tabiru ya u-lil abshar!
وَلَقَدْ جِئْنَاهُم بِكِتَابٍ فَصَّلْنَاهُ عَلَىٰ عِلْمٍ هُدًى وَرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al Quran) kepada mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami; menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman” (QS. Al A’raaf, 7 : 52)
Pergerakan.
Dengan adanya petunjuk dalil-dalil tersebut diatas maka setiap pribadi Muslim tidak hanya bergembira karenanya, tetapi dituntut yakin sepenuhnya serta turut ambil bagian di dalam upaya menyongsong masa keberlakuannya yang ditentukan atas kuasa dan kehendak-Nya, yaitu dengan tegaknya kembali peradaban Islam sebagaimana perutusan Muhammad saw sebagai Rahmatan Lil Alamin.
Karena itulah, bangsa Indonesia yang lahir atas berkat rahmat Allah SWT sebagaimana tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945 dan sebagai bangsa yang besar dengan jumlah penduduk Muslim terbanyak di dunia sudah sepantasnya menjadi pelopor terhadap masa depan peradaban umat manusia. Cermin besar sejarah lahirnya bangsa ini, memantulkan cahaya yang sempurna guna memandang jelas keadaan bangsa ini, sekarang dan akan datang, serta mampu memantau perkembangan nilai-nilai kemanusiaan di tengah peradaban bangsa-bangsa di dunia yang terus mengalami perkembangan. Hal tersebut merupakan nikmat dari-Nya yang harus senantiasa disyukuri dan dijaga sebagai amanah yang diberikan-Nya, terutama oleh umat muslim bangsa Indonesia. Bangsa yang lahir dari perjuangan para ulama dan umat Muslim, walaupun pada awal kemerdekaannya mengalami sedikit perbedaan pandangan dengan minoritas umat yang non Muslim tapi justru para ulama bersama umat Muslim sebagai umat yang mayoritas tetap setia dan senantiasa menjaga suasana dan kondisi “Kebhinekaan” dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Suasana harmonis dalam kehidupan masyarakat dan pemerintahnya sebagai umat yang beragama dan kondisi aman damai ditengah kemajemukan bangsa, hal inilah yang tidak dimiliki oleh bangsa-bangsa lain. Oleh karena itu, umat Muslim, baik itu pada bangsa Indonesia maupun pada bangsa-bangsa lainnya di seluruh penjuru dunia sehatusnya tetap menjaga komitmen dan konsistensinya terhadap keislamannya. Yakni, dengan senantiasa berpegang teguh dengan Al Qur-an dan As Sunnah dan tidak terpancing oleh langkah-langkah Asy Syaithan yang justru dapat merusak cita dan citra Islam dan Umat Muslim ditengah-tengah peradaban umat manusia, apalagi umat Muslim bangsa Indonesia sebagai umat Muslim terbesar jumlahnya dibandingkan negeri-negeri lain di dunia.
Memandang hal tersebut diatas, didasari motivasi rasa terpanggil (vocation) segenap Panitia Pelaksana Mudzakarah Ulama Tingkat Dunia, sebagai pelaksana program dakwah Islam yang diusung Yayasan Pendidikan dan Dakwah Amanat Kesejahteraan Umat Islam (AKUIS) yang berpusat di Palembang dan beroperasional dalam Bidang Pendidikan dan Dakwah di Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan, mengemban satu event bertaraf internasional, yang disebut “Mudzakarah Ulama Tingkat Dunia”.
Dalam upaya merealisasikan maksud dan harapan tersebut, Yayasan Pendidikan dan Dakwah AKUIS dengan membentuk suatu kepanitiaan telah melaksanakan beberapa tahapan kegiatan, yaitu sebagai berikut :
1. Kongres Umat Islam Sumatera Selatan
- Diselenggarakan pada tanggal 28 – 30 Syawal 1422 H / 12 – 14 Januari 2002 di Asrama Haji Sumatera Selatan, Palembang.
- Adapun tujuan kegiatan ini yaitu memberikan wawasan kepada umat Islam, khususnya yang berada di wilayah Provinsi Sumatera Selatan, bahwa agama Islam bukanlah sebatas pelaksanaan Rukun Islam, akan tetapi juga mencakup juga tatakehidupan bermasyarakat.
2. Mudzakarah Ulama se-Sumatera
- Diselenggarakan pada tanggal 4 – 6 Shafar 1427 H / 4 – 6 Maret 2006 di Asrama Haji Sumatera Selatan, Palembang.
- Kegiatan ini dijadikan sebagai tapakan awal dalam rangka membangun wawasan yang sama bagi para ulama, tentang urgensi Islam dalam tata kehidupan dan peradaban umat manusia, dan sekaligus sabagai tapak tilas perjalanan para ulama khususnya di wilayah kepulauan Sumatera, mengingat masuknya Islam ke Nusantara adalah melalui Pulau Sumatera.
3. Mudzakarah Ulama Serumpun Melayu
- Diselenggarakan pada tanggal 21 – 25 Muharram 1432 H / 27 – 31 Desember 2010 di Asrama Haji Sumatera Selatan, Palembang.
- Kegiatan ini merupakan program lanjutan dalam proses menggalang penyatuan hati para ulama, tepatnya yang berada di wilayah rumpun Melayu.
- Adapun wilayah rumpun Melayu diilhami dari faktor sejarah tentang penyebaran Islam dari Pulau Sumatera ke wilayah rumpun Melayu, yang salah satu metode penyebarannya, adalah melalui pelaksanaan Musyawarah Ulama Serumpun Melayu, tahun 1650, di Provinsi Sumatera Selatan (Pulau Sumatera).
- Mudzakarah Ulama Serumpun Melayu tahun 2010 melahirkan kesepakatan-kesepakatan, antara lain para ulama peserta mudzakarah mendukung pelaksanaan Mudzakarah Ulama Tingkat Dunia (MUTD) tahun 2016. Selanjutnya, MUTD dirancang dan dipersiapkan oleh Dewan Perancang dan Persiapan Mudzakarah Ulama (DP3MU) yang mengajak Ulama yang memahami pengertian Ulu Baqiyah dan Siyasah Syar’iyyah agar bersama-sama mewujudkan kesepakatan tentang keabsahan Ahlul Halli Wal Aqdi berdasarkan petunjuk Kitabullah Al Qur-an dan As Sunnah. Hal tersebut sebagai upaya dan pelaksanaan serta proses dakwah kepada jalan-Nya, ditengah-tengah peradaban umat manusia.
- Mengiringi maksud dan tujuan untuk menjemput janji Allah SWT, maka Yayasan Pendidikan dan Dakwah Amanat Kesejahteraan Umat Islam (AKUIS) menempatkan diri sebagai payung dalam pelaksanaan MUTD telah melengkapi dengan Badan Hukum yang dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia.
Panitia yang mendapatkan amanat untuk melaksanakan Mudzakarah Ulama Tingkat Dunia tahun 2016, mengajak kepada seluruh umat Muslim dimulai dari umat Muslim bangsa Indonesia, mulai dari rakyat biasa sampai dengan jajaran pemerintahan dapat memberikan dukungan sepenuhnya dalam kegiatan ini secara lahir, batin, moral dan spiritual, sebagaimana keutamaan yang Allah SWT berikan kepada pemerintah (umara’) selaku Ulil Amri, sebagaimana firman Allah SWT di dalam QS. An Nisa’ (4) : 59 yang berbunyi :
يأيّهَا الّذِين ءامنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرّسولَ وأولي الأَمر منكم فإن تنزعتم في شيء فردوه إلى الله والرّسولِ إن كنتم تؤمنون باللهِ واليوم الأٓخر ذلكَ خير وأحسن تأويلًا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan Ulil Amri di antara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah dia kepada Allah (Al Qur-an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari Kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Adapun yang dimaksud dengan Mudzakarah Ulama Tingkat Dunia secara umum adalah suatu proses yang dilakukan para ulama untuk saling ingat-mengingatkan dan berwashiyat tentang nilai-nilai kebenaran dan kesabaran berdasarkan petunjuk Al Qur-an dan As Sunnah, guna dijadikan dasar dan pedoman untuk membangun kesepakatan, dalam mengurai dan menyimpulkan langkah selanjutnya bagi kemaslahatan umat manusia di berbagai belahan dunia.
B. PERIHAL MUDZAKARAH ULAMA TINGKAT DUNIA 2016
- Landasan kegiatan. Adapun yang menjadi landasan kegiatan Mudzakarah Ulama Tingkat Dunia tahun 1438 H / 2016 M adalah sebagai berikut :
- Sebagaimana perintah Allah SWT di dalam Al Qur-an Surat Al Baqarah (2) : 208 agar orang-orang yang beriman bersama-sama membentuk kesepakatan tingkat dunia dalam urusan Ad Dinul Islam, yaitu diawali dengan dipersatukan-Nya hati ulama yang memahami pengertian “Ulu Baqiyah” dengan bermudzakarah dan bermusyawarah dalam hal menepati langkah yang tepat dan benar pada jalan-Nya. Hal tersebut dimaksudkan sebagai upaya dan pelaksanaan serta proses dakwah ditengah peradaban umat manusia agar berada pada jalan-Nya, karena seiring waktu dimasa mendatang kelak terwujud janji Allah SWT tentang maksud dan tujuan keberadaan Ad Dinul Islam dan perutusan Muhammad saw sebagai Rahmatan Lil ‘Alamin.
- Hasil kesepakatan Mudzakarah Ulama Serumpun Melayu di Palembang, pada tanggal 21 – 25 Muharram 1432 H / 27 – 31 Desember 2010 M, pada butir pertama berbunyi : “Peserta Mudzakarah Ulama Serumpun Melayu dengan ini bersepakat mendukung pelaksanaan Mudzakarah Ulama Sedunia pada tahun 2016”.
- Harapan dan dukungan Gubernur Sumatera Selatan, Ir. H. Alex Noerdin, pada pidato pada acara Pembukaan Mudzakarah Ulama Serumpun Melayu tahun 2010 di Asrama Haji Sumatera Selatan, Palembang, yang dibacakan oleh Asisten III Provinsi Sumatera Selatan, dr. H. Aidit Aziz, bahwa setelah terselanggaranya Mudzakarah Ulama Serumpun Melayu, maka selanjutnya untuk tingkat dunia agar kembali dilaksanakan di Kota Palembang, Sumatera Selatan.
- Hasil keputusan Silaturahim Dua Bulanan Dewan Perancang Panitia Pelaksana Mudzakarah Ulama (DP3MU) pada tanggal 11 – 12 Dzulqoidah 1436 H / 26 – 27 Agustus 2015, bertempat di Sekretariat Pusat Mudzakarah Ulama tentang Pembentukan Panitia Mudzakarah Ulama Tingkat Dunia tahun 2016.
- Surat Mandat Ketua Yayasan Pendidikan dan Dakwah AKUIS Pusat tertanggal 1 Muharram 1437 H / 14 Oktober 2015 Nomor YAP.IST/037015-002 mengenai penetapan Kepanitian Mudzakarah Ulama Tingkat Dunia guna melaksanakan kegiatan Mudzakarah Ulama Tingkat Dunia tahun 2016, sebagai program lanjutan dari Mudzakarah Ulama Serumpun Melayu tahun 2010.
- Nama Kegiatan. Kegiatan bertaraf internasional yang mengumpulkan para ulama dari dalam dan luar negeri ini dinamakan : “Mudzakarah Ulama Tingkat Dunia”.
- Tema Kegiatan. Tema yang diangkat pada kegiatan Mudzakarah Ulama Tingkat Dunia ini adalah : “Mudzakarah Ulama sebagai Langkah Perwujudan Islam yang Rahmatan lil Alamin”.
- Target. Adapun visi pelaksananaan Mudzakarah Ulama Tingkat Dunia ini adalah : “Berkumpulnya para ulama untuk bermudzakarah dan bermusyawarah sehingga mencapai kesepakatan bagi keabsahan keberadaan susunan Ahlul Halli Wal Aqdi dalam satu kelembagaan pada tingkat dunia”.
- Tujuan. Mudzakarah Ulama Tingkat Dunia (MUTD) 2016 diselenggarakan panitia pelaksana sebagai pengemban amanah dari Yayasan Pendidikan dan Dakwah AKUIS untuk menyukseskannya dengan beberapa tujuan yang ingin dicapai sebagai berikut :
- Mensosialisasikan MUTD 2016 secara lansung melalui kunjungan dan secara tidak langsung melalui website, surat, e-mail, media sosial Whatsapp, yang selanjutnya dengan proses Verifikasi dan Validasi pada database panitia maka Ulama sebagai peserta diundang.
- Memfasilitasi penyelenggaraan MUTD 2016 di Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia, dalam hal akomodasi-konsumsi dan transportasi lokal (dari dan ke airport/stasiun/terminal bus).
- Mendokumentasikan proses penyelenggaraan MUTD 2016 di Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia, sebagai bahan bagi Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA) untuk menata-tugas, melalui beberapa proses selanjutnya, dengan merujuk kepada Kitabullah Al Qur-an dan Sunnah Rasulullah saw.
- Audiensi, Rekomendasi dan Perzinan. Panitia Pelaksana beraudiensi kepada pihak pemerintahan dan jajaran terkait dimana kesekretariatan dan pelaksanaan kegiatan berlangsung, bahkan beraudiensi dengan Gubernur Sumatera Selatan. Sehingga, Panitia Pelaksana mendapatkan Rekomendasi dan Perizinan mengenai kegiatannya antara lain sebagai berikut :
- Gubernur Sumatera Selatan melalui surat nomor 49/2200/VI/2016 tertanggal 27 Juli 2016
- Kementerian Agama Provinsi Sumatera Selatan melalui surat nomor B-2795 Kw.06.6/2/BA.00/10/2016 tertanggal 24 Oktober 2016
- Kepolisian Negara Republik Indonesia melalui Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP) Nomor : STTP/YANMAS/353/XI/2016/Baintelkam tertanggal 29 November 2016 yang dikeluarkan oleh Badan Intelejen Keamanan Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia.
- Kepanitiaan. Mudzakarah Ulama Tingkat Dunia (MUTD) 2016 diselenggarakan oleh suatu kepanitiaan yang dibentuk sesuai dengan Surat Mandat Ketua Yayasan Pendidikan dan Dakwah AKUIS Pusat tertanggal 1 Muharram 1437 H / 14 Oktober 2015 Nomor YAP.IST/037015-002. Kepanitiaan yang bernama “Panitia Pelaksana Mudzakarah Ulama Tingkat Dunia” terdiri dari para Ulama dan umat Muslim yang berasal dari berbagai provinsi di Indonesia, serta dibantu panitia tambahan dari koordinasi resmi pihak-pihak terkait terutama dalam hal sosialisasi dan kemanan tempat acara. Susunan kepanitiaan terdiri dari Pembina (Dewan Perancang), Panitia Pengarah dan Panitia Pelaksana yang tercantum dalam “Buku Rancangan Pelaksanaan Mudzakarah Ulama Tingkat Dunia”. Dalam perjalanannya, tepatnya sebulan sebelum pelaksaan acara Ketua Pembina (Dewan Perancang) Muhammad Bardan Kindarto meninggal dunia sehingga jabatan Ketua Pembina dilanjutkan oleh TG. KH. Drs. Thohlon Abd. Ra’uf.
- Peserta. Peserta yang diundang pada Mudzakarah Ulama Tingkat Dunia ini adalah para ulama yang sudah menerima dan memahami maksud dan tujuan acara yang dimaksud melalui proses sosialisasi sebelumnya. Sehingga para ulama yang diundang setelah melalui proses verifikasi dan validasi berjumlah 254 orang yang berasal dari berbagai belahan dunia antara lain Palestine, Libanon, Malaysia, Singapura, Kamboja, Vietnam, Thailand, RRC (Hongkong), Korea Selatan, dan Timor Leste serta berbagai provinsi dan kepulauan di Indonesia sebagai tuan rumah. Namun, Ulama yang hadir dan teregistrasi oleh panitia hanya berjumlah 121 orang, sementara yang lainnya tidak jadi hadir dengan alasan utama adalah masalah kesehatan, bersamaan dengan kegiatan lainnya dan sedikit masalah biaya transportasi.